Cerita
A Sad Story About Lovi
Jaka
Wisena. Nama itu cukup punya arti dalam hidupku. Aku pernah mencintainya begitu
lama. Tiga tahun aku menantinya datang kepelukanku saat dibangku SMA, tapi tak
sekalipun dia menghampiriku. Hari demi hari penuh kesakitan saat bersamanya
takkan kulupakan. Masih jelas dalam ingatanku, saat ia memutuskan berpacaran
dengan sahabatku Febria. Seketika itu juga hatiku mengucurkan darah. Bahkan hatiku
yang dirobeknya saat itu tak pernah benar-benar menutup hingga hari ini. Luka
yang abadi.
***
-Tiga tahun lalu-
Huuftt. Aku
menghembuskan nafas keras-keras. Semangatku menghilang seketika. Mataku masih
menatap papan pengumuman di sekolah. XII IPS 4, kelasku yang baru. Bukan karena
masuk jurusan IPS yang kupikirkan, tapi nama seseorang berada di kelas yang
sama denganku. Lagi-lagi aku sekelas dengan Jaka, tahun ketiga bersamanya. Dengan
langkah yang gontai aku memasuki kelasku yang baru. Sudah banyak anak-anak
rupanya. Aku tak begitu mengenal teman-teman sekelasku karena pembagian kelas
kali ini diacak. Segera kuhampiri bangku kosong dibagian tengah kelas dan
menarik bangku ke belakang supaya bisa duduk. Entah siapa orang yang akan duduk
disampingku.
“Boleh
aku duduk disini?” Lamunanku buyar ketika suara itu muncul. Kutatap sosok yang
tadi berbicara kepadaku.
“Kok
diam, boleh aku duduk disini? Tanyanya lagi. Aku masih diam. Kulanjutkan lamunanku.
Sosok itu duduk disampingku dan tampak tidak mempersoalkan keacuhanku tadi.
Sosok
itu berbicara lagi. Ia menyodorkan tangannya padaku. “Hai, namaku Eva, aku dari
kelas XI IPS 2, kalo kamu?”
“Lovi, XI IPS 4” Jawabku sekenanya. Kujabat tangannya tanda kami berkenalan.
Kuedarkan pandangan ke
sekelilingku. Semua bangku hampir terisi, hanya tersisa satu bangku kosong di
pojok belakang kelas. Seorang guru laki-laki masuk ke dalam kelas. Anak-anak
yang semula sibuk sendiri langsung menatap ke depan kelas.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi, pak.” Kami menjawab bersama-sama.
“Nah
anak-anak, ini adalah hari pertama kalian berada di kelas XI. Perkenalkan saya
Sayuti, Bapak adalah wali kelas kalian. Apakah kalian sudah memilih pengurus
kelas?”
“Belum pak.” Jawab kami serentak.
“Mari kita mulai saja dengan memilih ketua kelas.”
Nama calon-calon
pengurus kelas sudah tertulis di depan kelas. Kami melakukan voting untuk
menentukan siapa ketua kelas, bendahara, dan sekretaris. Saat kami sedang
melakukan voting lelaki itu masuk ke
dalam kelas. Lelaki itu, aku mengenalnya dengan sangat baik.
Dia langsung menuju
meja guru ketika menyadari sudah ada guru di dalam kelas. Ku perhatikan wajahnya
saat ia berbicara dengan wali kelas kami mengenai keterlambatannya. Setelah meminta
maaf, ia mencari tempat duduk. Lelaki itu duduk di bangku kosong tadi. Jantungku
berdegup kencang. Ia duduk dibangku tepat disamping kiriku. Ketika sadar bahwa
tempat duduk kami bersebelahan, ia menyapaku.
“Hai Lovi, kita sekelas lagi ya.” Ucapnya sambil tersenyum.
Kubalas senyumannya. “Hai juga Jaka. Kuharap kau tak bosan.” Ia tertawa.
Tradisi disekolah kami adalah tidak belajar
dihari pertama masuk, tetapi bersih-bersih kelas. Selama bersih-bersih kelas
berlangsung, mataku hanya terfokus pada Jaka. Lelaki itu tak sekalipun
menmperhatikanku. Selama dikelas X dan XI, hubungan kami ibarat layang-layang.
Akulah layangan itu, sedang Jaka yang memainkannya. Jaka dengan lihai menarik
dan mengulur benang layangan itu, seperti yang dilakukannya pada hatiku. Kadang
ia luar biasa manis hingga aku terbang ke awan karena perlakuannya, tapi
secepat kilat ia berubah kejam, menyambarku hingga terbakar dan jatuh ke bumi.
Aku, gadis bodoh yang masih bertahan mencintainya sepenuh hati.
Berada di kelas XII
benar-benar tidak menyenangkan. Hari-hariku sangat melelahkan karena dipenuhi
oleh jam tambahan pelajaran untuk persiapan UAN. Sore itu, aku sedang
memasukkan buku pelajaran ke dalam tas ketika kabar itu tak sengaja mampir
ketelingaku. Anak perempuan dikelasku, Ocha dan Octa sedang bergosip dengan
heboh tanpa menyadari keberadaanku dikelas itu.
“Febria tuh tega ya, bisa-bisanya dia pacaran sama orang yang disukai sahabatnya sendiri.”
“Maksud kamu Febria jadian sama Jaka?”
“Iya, emang siapa lagi. Tega banget kan dia.”
“Iya, tega banget.”
Emosiku seketika naik
mendengar pembicaraan mereka. Anak-anak dikelasku memang sudah tahu jika aku
menyukai Jaka, bahkan Febria sahabatku sejak kelas X juga tahu secara detail
hal-hal tentang Jaka lewat cerita-ceritaku. Kabar yang kudengar benar-benar melenyapkan akal sehatku. Berani-beraninya
Febria menusukku dari belakang.
Aku berlari ke luar
kelas mencari Febria. Kami memang berbeda kelas, ia jurusan IPA. Jaka dan
Febria sedang bergandengan tangan ketika aku sampai di kelas Febria. Febria
terkejut melihatku. Aura kemarahan di dalam diriku membuatnya sedikit ketakutan
sehingga langsung melepaskan tangannya dari Jaka. Jaka tampak tenang, sementara
Febria gemetaran.
“Vi, aku bisa jelasin, semuanya gak seperti yang kamu lihat kok.”
“Oh
ya, lalu seperti apa? Seperti seseorang yang tanpa sengaja jatuh cinta pada
lelaki yang dipuja oleh sahabatnya sendiri? Kau pikir aku bodoh, hah? Kau tahu
Febria, aku muak melihatmu, mulai hari ini persahabatan kita putus.” Aku
setengah berteriak ketika berbicara pada Febria. Kemarahan benar-benar telah
menguasaiku hingga aku tak sadar orang-orang memperhatikan pertengkaran kami.
Febria tak menjawab.
Kutatap Jaka yang masih
terdiam sambil bersandar ke pintu, melihatku dengan tatapan tidak percaya. Aku yang
dikenalnya selama ini memang hanyalah seorang gadis lemah yang tak berani
mengungkapkan perasaanku. Kutatap matanya, mata yang sama seperti dulu, mata
bening yang membuatku jatuh cinta.
“Jaka,
aku yakin kau tahu perasaanku selama ini, tetapi kenapa kau setega ini padaku? Aku
salah apa? Apa aku pernah menyakitimu? Apa aku pernah memaksamu membalas
cintaku? Tidak bukan? Kenapa harus dengan sahabatku? Ah, mantan sahabat! Kau
tahu Jaka, bahkan setelah berkali-kali kau sakiti, aku masih mencintaimu.” Ada
kelegaan yang mengalir setelah mengungkapkan perasaanku pada Jaka. Selama dua
tahun aku menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya dan hanya bisa tersenyum
jika teman-teman menggoda kami berdua. Kali ini kelegaan itu bercampur dengan rasa
sakit hingga airmata membasahi wajahku.
“Maafkan
aku Lovi. Kau tahu, sejak pertama kali kita bertemu, kau sangat menarik
perhatianku.” Aku terkejut dengan pernyataannya. Mata kami bertatapan. Ia melanjutkan
lagi. “Kedekatan kita selama dua tahun ini membuatku bingung sampai-sampai aku
sering menyakitimu. Aku senang dengan kedekatan kita selama ini, tapi ada hal
lain yang tidak aku temukan dalam dirimu. Aku tak kau ingin salah mengartikan
rasa ini. Sekali lagi maafkan aku Lovi.”
Air mataku kembali
mengalir, bertambah deras. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara
lagi. “Aku memaafkanmu Jaka, tapi aku tidak akan melupakan peristiwa hari ini.”
Kutinggalkan Jaka dan Febria. Aku kembali ke kelasku dengan hati yang tak lagi
utuh, berceceran sepanjang jalan menuju kelas.
Aku tak lagi bersahabat
dengan Febria sejak kejadian itu. Aku juga tak berbicara dengan Jaka meskipun
kami sekelas. Hingga kelulusan tiba dan aku terbang ke Yogyakarta untuk
melanjutkan kuliah. Aku melanjutkan hidupku dan belajar melupakan, meski tak
pernah bisa.
***
-Masa
sekarang-
Pagi itu kudapati email
dari Jaka Wisena di inbox. Aku benar-benar tak tertarik membacanya.
Kudiamkan email itu selama dua hari. Bukan tanpa sengaja, tapi kesibukanku di
organisasi kampus telah menguras tenagaku. Saat ini aku mahasiswi semester enam
disebuah perguruan tinggi swasta. Aku bahagia dengan kehidupanku hingga email
itu mampir di inbox dan mengusik sedikit ketentramanku. Kubuka email itu lalu
kubaca.
Hai Lovi, bagaimana kabarmu? Masih
ingat aku? Mudah-mudahan saja masih ya. Maafkan aku baru menghubungimu setelah tiga tahun menghilang. Aku benar-benar merasa bersalah padamu sejak kejadian
itu. Kau mungkin bingung, mungkin juga menganggapku tak tahu malu karena aku
berani mengirim email padamu. Anggaplah begitu jika itu bisa membuatmu
memaafkanku.
Lovi, aku di Yogyakarta sekarang, selama tiga tahun ini aku
mengumpulkan keberanian untuk menghubungimu, tapi aku tak bisa. Aku terlalu
pengecut bukan? Ya Lovi, itulah aku. Bahkan untuk mengakui perasaanku saja aku
tak pernah bisa. Aku kehilanganmu sejak saat itu. Aku baru sadar bahwa ada yang
kurang ketika kau tak ada. Aku mulai mencintaimu. Aku bodoh bukan? Aku baru
menyadari perasaanku setelah kau pergi. Maafkan aku Lovi. Aku tahu aku pasti
sudah terlambat. Hubunganku dengan Febria tidak bertahan lama, beberapa hari
setelah kelulusan kami putus. Aku kerumahmu, tapi kata orang tuamu kau sudah
pergi. Aku menyesal sekali Lovi. Aku berpikir kau pasti membenciku.
Lovi, aku tahu kesalahanku begitu
besar, tapi aku berharap kita bisa memulai semuanya dari awal lagi. Lovi, jika
memang dihatimu masih ada sedikit kenangan tentang aku, kumohon balaslah email
ini. Aku benar-benar ingin bersamamu.
Kututup
laptop di depanku. Email itu benar-benar mengacaukan hari dan hatiku. Mau tak
mau aku mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Dihatiku memang masih ada
sedikit kenangan tentang Jaka. Kebimbangan mulai merayapi hatiku. Kubuka lagi
laptopku, kubalas dengan singkat emailnya.
Hai
Jaka, aku sudah membaca emailmu. Bisa kita bertemu?
Tidak
begitu lama, sudah ada balasan email dari Jaka.
Lovi, aku tak percaya
kau membalas emailku. Apakah artinya kau mau memulai semuanya dari awal lagi
bersamaku? Kau mau kita bertemu dimana Lovi?
Kuketik
email balasan untuk Jaka. Masih singkat seperti tadi.
Masih dini untuk
membicarakan tentang kita. Kita bertemu besok saat makan siang di Cafe
Djendela.
Kumatikan
laptop tanpa melihat apakah ada email balasan dari Jaka atau tidak. Kuputuskan untuk
segera tidur. Aku harus menyiapkan mental untuk bertemu dengan Jaka besok.
***
Aku sudah berada dikampus sejak
pukul tujuh pagi. Tidak ada kuliah yang harus kuikuti, tapi ada rapat
organisasi yang memaksaku harus ke kampus. Seperti biasa, rapat tidak berjalan
lancar. Banyaknya perbedaan pendapat membuat rapat memanas. Aku sudah ingin
keluar dari ruang rapat ketika suasana sudah mulai tidak kondusif. Akhirnya rapat
berakhir tanpa kesimpulan apa-apa. Kulirik jam dipergelangan tanganku, sudah
hampir jam makan siang. Aku ingat harus bertemu dengan Jaka. Kupacu mator
menuju ke Cafe Djendela.
Jaka sudah duduk dikursi dekat jendela
ketika aku tiba di cafe. Kulangkahkan kaki menuju kursi dimana Jaka berada. Jaka
sudah agak berubah, tubuhnya lebih besar dibandingkan saat masih SMA dulu. Garis-garis
diwajahnya menunjukkan kedewasaan.
“Silahkan
duduk Lovi.” Ucap Jaka saat aku berada dihadapannya. Ku tarik kursi lalu duduk
di depannya.
“Kau tidak berubah, masih cantik seperti dulu.”
“Terima kasih Jaka.” Jawabku sambil tersenyum.
“Kau
mau pesan apa? Masih suka nasi goreng udang seperti dulu? Minum jus alpukat?”
“Kau masih mengingatnya?”
“Aku
masih mengingat seluruh hal tentangmu, Lovi.” Aku tersipu mendengar ucapannya. Wajahku
pasti merah merona sekarang.
Jaka melambaikan tangan
memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanannya. Pelayan itu mencatat pesanan
lalu pergi. Selama menunggu makanan datang kami tidak berbicara. Lima belas
menit kemudian pesanan datang.
“Enak?” Tanya Jaka saat kami mulai makan.“Enak yang dulu.” Jawabku.Jaka meletakkan sendoknya lalu berbicara padaku.“Lovi, aku senang kita bisa bertemu lagi.”“Ya Jaka, aku juga senang bisa bertemu dengan teman lamaku.”“Teman? Tidak bisakah kita lebih dari itu?”“Jaka, kita baru saja bertemu lagi, setelah tiga tahun. Kau tahu itu bukan?”“Aku tahu, kau masih marah padaku?”“Tidak Jaka, aku sudah memaafkanmu.”
Kuminum jus alpukat di
depanku dengan perlahan. Jaka masih diam. Kuambil sesuatu dari tasku. Kuletakkan
di atas meja. Kuperhatikan ekspresi wajah Jaka ketika membaca kertas yang
kuletakkan tadi.
“Apa maksudnya ini Lovi?” Tanya Jaka.
“Seperti
yang kau baca Jaka, bulan depan aku akan bertunangan. Dia pria yang baik. Jika
ada waktu datanglah.” Jawabku.
“Kenapa Lovi?” Tanya
Jaka lagi.
“Kenapa?
Sudah lima tahun berlalu Jaka. Sadarlah, kita bukan anak SMA lagi. Kau tahu
bagaimana kehidupanku setelah kejdian itu? Aku benar-benar hancur, butuh waktu
lama untuk bisa seperti sekarang hingga akhirnya lelaki itu muncul dan
menghapus semua kesakitanku.”
“Kau
tidak memafkanku Lovi?”
“Aku
sudah memaafkanmu atas semua kejadian buruk dimasa lalu, tapi aku tidak pernah
melupakan. Terima kasih untuk makan siangnya tapi aku harus pergi. Selamat tinggal
Jaka.” Aku berdiri dari kursi. Tidak kuperdulikan lagi Jaka yang masih terdiam
disana. Kulangkahkan kaki menuju parkiran. Selamat tinggal Jaka. Selamat
tinggal masa lalu.
Yk, 25 Juni 2013.
0 komentar