Cerpen
Ini adalah cerpen yang kutulis selama dua minggu. Buat tugas UAS ceritanya.
Selamat membaca :)
Hatiku, Ketika BBM Naik
Cerpen:
Nurlovi Lestari
“BBM naik, kita harus hemat.” Itu kata Rini.“Tapi kan kita bisa naik motorku, gratis Rin.” Jawabku.“Gak mau ah, enakan naik andong, anginnya sepoi-sepoi.”
Aku mengalah. Sebenarnya
aku tahu bahwa Rini ingin sekali naik andong. Maklum saja, sudah tiga tahun
tinggal di Jogja tak sekalipun ia pernah naik andong. Jadilah aku sekarang
disini, berpanas-panasan demi memuaskan keinginannya.
Sudah setengah jam aku
dan Rini berdiri di depan kampus, tak satupun andong lewat. Kakiku yang selalu
dibalut dengan sepatu highheels mulai
terasa pegal. Ingin kucopot rasanya sepatu yang kupakai. Akhirnya kusir andong
dengan jaket orange yang mirip
almamater kampus kamipun lewat. Andong itu berhenti di depan kami ketika aku
melambaikan tangan. Kami berdua pun naik. Rini menyuruhku berbicara bahasa Jawa
dengan tukang andong untuk menanyakan harga. Tiga tahun di Jogja, Rini tak juga
bisa berbahasa Jawa. Malas belajar katanya.
“Teng malioboro pinten pak?”“Gangsal ewu mawon mbak.”“Malah regine awis pak, biasanipun tigangewu?”“Nggih mbak, BBM awis, pakan jaran nggih samin awis.”“Biasanipun pakan jaran pinten pak?”“Biasanipun kalih ewu, sakmeniko BBM awis, pakan jaran awis dados tigangewu.”“Lagi-lagi karena BBM naik.” Ujarku dalam hati.
Sepanjang jalan Rini
heboh sendiri karena akhirnya bisa naik andong. Bahkan sepanjang jalan, ia
berfoto-foto di dalam andong. Malu aku karena orang-orang memperhatikan kami,
dikiranya kami orang udik darimana. “Ah Rini, awas saja kamu!”
Tidak membutuhkan waktu
yang lama, lima belas menit kemudian kami sampai di Malioboro. Setelah membayar
ongkos andong, aku dan Rini turun. Begitu turun, Rini langsung menarik tanganku
menuju pasar Beringharjo. Ritual kami setiap ke pasar Beringharjo adalah
memutari seluruh los pedangan di lantai satu dan lantai dua. Setelah itu kami
naik ke lantai tiga. Seperti biasa, Rini pasti akan membeli jilbab dengan aneka
warna padahal koleksi jilbab di kamarnya sudah tak terhitung jumlahnya. Aku
mengikutinya dengan malas. Aku memang tidak terlalu suka suasana yang terlalu
ramai. Suasana hatiku memang sedang buruk.
Udara panas masih
menyelimuti Jogja ketika kami keluar dari pasar Beringharjo. Matahari bersinar
sangat terik tanpa penghalang awan di langit. Angin seakan-akan tak berhembus
yang membuat cuaca semakin panas dengan sempurna. Keringat mulai mengucur
membasahi baju. Badan mulai terasa lemas.
“Kita mau kemana lagi Rin?”“Cari minum yuk? Aku haus nih.”“Dimana?”“Di depan monumen saja, kan disana banyak yang jual minuman.”“Iya.”
Aku dan Rini berjalan kaki
sekitar lima menit menuju monumen sebelas maret. Malioboro cukup ramai, apalagi
musim liburan sudah di mulai. Untunglah kursi batu disana masih ada yang kosong
sehingga aku dan Rini bisa duduk. Segera kucopot sepatuku. Kakiku mulai
kemerahan karena harus berjalan kaki menggunakan highheels. Seharusnya aku tidak nekat memakai highheels. Disekeling kami suara pedangan asongan, pengamen, dan
pengemis bagaikan simfoni yang terdengar fals.
Kenyataannya suara rakyat kecil memang tak pernah merdu. Di tambah lagi dengan
kenaikan BBM. Makin tak terdengar sampai ke atas. Kuhampiri seorang pedagang
asongan untuk membeli minuman.
“Yang ini berapa mas?” Aku menunjuk botol minuman yang berwarna biru.“Lima setengah mbak.”“Hah? Biasanya kan empat ribu mas?”“Kan BBM naik mbak, jadi semuanya ikut naik.”Ah lagi-lagi karena BBM. Sungguh menyebalkan.“Ya udah beli dua mas. Ini uangnya.” Kusodorkan uang sebelas ribu kepada pedangan asongan itu dan kembali ke kursi yang tadi kududuki bersama Rini.“Habis darimana sih?” Tanya Rini.“Beli minum. Nih.” Kuberikan satu botol minuman kepada Rini.“Yah, aku kan gak suka ini.” Tolak Rini saat kusodorkan botol minuman biru itu.“Udah minum aja, mahal nih. BBM naik, semua ikut naik” Ujarku kesal.“Iya-iya, jangan marah-marah terus. Mentang-mentang baru patah hati bawaannya marah-marah terus. Ayo foto-foto”
Deg. Ucapan tentang
patah hati yang diucapkan Rini tadi memaksaku mengingat kembali rasa sakit yang
ditinggalkan lelaki itu. Lelaki yang kucinta setengah mati tapi hanya
menganggapku sebagai sahabat saja. Perih rasanya hatiku. Lelaki itu bilang aku
terlalu baik untuknya. Alasan klasik. Jika aku baik, harusnya dia memilihku.
Jika aku baik, harusnya dia mendampingiku. Bukan meninggalkan jejak luka
dihatiku. Jejak luka yang dalam hingga sulit untuk menutupnya. Dasar lelaki
payah.
“Jangan melamun terus.” Rini kembali berbicara.
Wajahku merona karena
malu. Malu ketahuan melamun. Buru-buru aku menyusul Rini yang sedang asyik
berpose.
Kulirik jam digital
dipergelangan tangan kiriku yang sudah menunjukkan angka tiga. Siang menjelang
sore. Meski tetap saja mentari tidak mau mengurangi pancaran sinarnya. Cukup lama
juga aku dan Rini berada di depan monumen itu. Setelah puas berfoto-foto, kutarik
tangan Rini, mengajak pulang. Kami memutuskan pulang naik trans jogja dengan
alasan ada AC-nya. Lagipula cukup murah, tiga ribu rupiah. Meskipun harus
berdiri di dalam bus, karena semua tempat duduk sudah terisi penuh.
Sepuluh menit kemudian
kami sampai dipemberhentian trans Jogja. Harus berjalan kaki lima menit untuk
bisa sampai di kos. Aku dan Rini menuju kamar masing-masing. Kami memang satu kos.
Begitu sampai di kamar, langsung kulemparkan tas ke sembarang tempat. Kunyalakan
televisi, lagi-lagi berita tentang BBM. Entah ada apa dengan kebijakan
pemerintah saat ini. Sebentar lagi bukan hanya BBM yang naik tetapi juga barang
kebutuhan pokok lain. Kurebahkan badan yang sedari tadi merindukan kasur,
hingga akhirnya aku terlelap.
Hari sudah gelap saat
aku terbangun dari alam mimpi. Rupanya hujan turun saat aku tertidur. Sisa-sisa
air hujan saat aku tertidur mengembun dikaca jendela. Aku teringat akan janji
wawancara dengan seorang redaktur pelaksana koran lokal. Aku adalah reporter
untuk majalah kampusku. Masih amatiran dan dalam tahap belajar. Aku segera
bersiap-siap. Setelah mengemasi laptop dan kamera ke dalam tas ransel yang
biasa kupakai mengejar berita, ku pacu motor putihku menuju daerah Mangkubumi.
Udara yang cukup dingin
sehabis hujan membuat aku harus mengemudikan motor dengan pelan. Aku tidak mau
jatuh terpeleset oleh licinnya jalanan. Aku menikmati suasana seperti ini,
kelap-kelip lampu kota yang terlihat syahdu. Saat berhenti dilampu merah, aku
melihat jarum penunjuk bensin sudah mendekati garis merah. Aku harus segera
mencari pom bensin jika tidak mau berakhir dengan menuntun motor. Aku ingat
jika di daerah Sultan Agung ada pom bensin. Kulajukan motorku ke arah sana.
Betapa terkejutnya aku
ketika sampai di pom bensin. Antrean panjang di dalam pom membuat nafasku
sesak. Baru kemarin BBM naik, tapi antreannya sudah segila ini. Apakah
orang-orang takut tak kebagian bensin? Padahal pom bensin itu biasanya sepi. Haruskan
aku ikut mengantre? Ditengah kebingungan, hapeku di dalam kantong celana
bergetar.
Maaf wawancara malam
ini terpaksa saya batalkan. Saya ada rapat redaksi mendadak. Mengenai waktu
pengganti nanti saya sms saja. Terima kasih.
Itu sms yang kuterima
dari calon narasumberku. Kuketik sms balasan.
Iya Pak, terima kasih. Saya tunggu jadwal penggantinya.
Kumasukkan kembali hp
ke dalam kantong celana. Sedikit jengkel juga karena harus dibatalkan secara
mendadak. Akhirnya kuputuskan untuk tidak ikut mengantre bensin, lagi pula sekarang
aku tidak terburu-buru. Aku memilih untuk membeli eceran saja. Seperti tadi,
aku berjalan pelan-pelan. Lirik kanan-kiri berharap ada penjual bensin eceran.
Tapi tak satupun terlihat.
“Jangan-jangan mereka sedang menimbun bensin.” Ucapku dalam hati.
Aku masih bertekad untuk
membeli bensin eceran. Aku tidak mau mengantre di pom, hingga akhirnya dua pom
bensin sengaja kulewati. Penjual bensin eceran tidak juga menampakkan diri.
Kali ini jarum indikator bensinku sudah berada di bawah garis merah. Pilihanku cuma
dua: menonton motor atau mengantre di pom bensin. Di pom bensin ketiga aku
melihat antrean yang juga panjang seperti sebelumnya. Bahkan mobil-mobil ikut
mengantre di bagian premium. Aku memutuskan ikut mengantre daripada nanti
menuntun motor. Setengah jam mengantre aku mulai kesal.
Braakkk.
Aku menoleh ke
belakang. Seseorang menabrak motorku. Kaca helmnya ditutup sehingga aku tak
bisa melihat wajahnya. Kelihatannya ia sedang berusaha memotong jalan. Makin
panas saja otakku.
“Sabar dong mas, jangan main tabrak-tabrak aja.”“Ga sengaja mbak.”“Biarpun ga sengaja, tapi hati-hati. Yang lain aja pada antre. Minta maaf kek gitu”“Iya mbak, saya minta maaf.” Lelaki itu membuka kaca helmnya .
Aku terdiam. Terkejut.
Aku mengenal lelaki itu. Lelaki yang membuat hatiku retak. Sekarang membuat
knalpot motorku tergores.
“Vivi?” Lelaki itu mengenaliku. “Maaf Vi, aku ga sengaja tadi.”
Aku masih terdiam
hingga lelaki itu bersama motornya berlalu dari pandanganku. Meninggalkanku
yang masih membisu di tempat mengantre.
Tiiinnn. Tiiiinnn.
Suara klakson dari
belakang membuyarkan lamunan pendekku. Ternyata antrean di belakang semakin
panjang. Mobil-mobil juga ikut antre dibagian premium. Cepat-cepat aku
memajukan motor sebelum di klakson lagi. Masih enam motor lagi yang harus
kutunggu. Semakin kesal saja. Usiaku yang baru menginjak angka duapuluh memang
sedang dalam masa transisi. Temanku bilang masih abg labil. Kesabaranku yang memang di bawah rata-rata mulai
menipis. Aku tak sanggup lagi mengantre. Seandainya saja mobil-mobil tidak ikut
mengantre di bagian premium pasti tidak akan antre sampai setengah jam.
Kumajukan motorku lalu pindah haluan ke bagian pertamax yang sepi. Tak
kupedulikan lirikan mata dari orang-orang disana.
“Pak, pertamax full tank.”
Petugas jaga dibagian pertamax
menatapku dengan heran sambil mengisi bensin motorku.
“Tiga puluh tiga ribu mbak.”
Kusodorkan uang seratus
ribuan padanya. Aku tersenyum pada petugas itu saat ia menyerahkan uang
kembalian. Aku memacu motorku kembali menuju kos.
0 komentar