Tak bisa merengkuhmu
Berkali-kali kulirik layar laptopku. Entah sudah berapa lama aku
hanya terpaku pada namamu yang ada didaftar chatting. Padahal aku hanya
harus mengklik satu kali agar bisa memulai percakapan denganmu. Tetapi aku tak
bisa. Katakanlah aku pengecut karena tak berani menyapamu. Katakanlah apa saja
dan akan kuterima.
Hampir dua bulan berlalu. Aku masih canggung padamu. Padahal aku biasa
melihatmu dari bangun tidur hingga langit berganti pekat. Aku tahu. Penyebab
kecanggungan ini adalah perasaanku. Perasaan sepihakku yang tak mampu
kuterjemahkan. Bahkan tak mampu kusederhanakan layaknya kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Diam-diam kujeritkan kesalku pada Tuhan. Kenapa aku harus bertemu
denganmu? Mengapa mimpiku nyata dan berwujud di sosokmu? Ah, perlukah
kuceritakan tentang mimpiku? Kamu yang tak kukenal masuk pintu mimpiku tanpa
pemberitahuan. Dan aku tercengang hebat kala sosok dalam mimpiku menjelma
menjadi dirimu. Kamu nyata.
Lewat kebersamaan kita. Tak bisakah kamu mengartikan sinaran mataku
saat menatapmu? Bukan salahmu juga. Aku terlalu pandai menutupi hatiku. Meskipun
aku hampir ketahuan saat tak sengaja berujar candaan denganmu. Andainya kau
tahu, itu bukan candaan. Itulah ungkapan hatiku.
Pertemuan terakhir kita. Ombak laut jadi saksi kegelisahanku. Aku
harus melepaskanmu dari pandangan mataku. Pertemuan terakhir yang
memporak-porandakan hatiku. Mematikan hatiku. Dan kali ini aku harus mengakui
bahwa merindu itu menyakitkan. Sosokmu yang lagi-lagi hanya bisa kutemui dalam
mimpi.
Jam dinding di ruang tamuku berdentang dua belas kali. Dan aku
masih terpaku pada namamu. Khayalan gila disekelilingku. Kusesapku kopi dengan
perlahan. Pahit. Seperti aku yang tak bisa merengkuhmu.
Jalan Gajah Gang Merak, 6 Maret 2014.
0 komentar